HALLO JAKARTA - Di Jakarta dan sekitar, antar dua kampung ada wates/batas bangunan terbuat dari batu dua kaki. Hampir sama dengan ulu jami, yang artinya permulaan kampung, itu wates juga cuma 1 kaki.
Kata lain gerbang adalah kaca-kaca. Kaca-kaca artinya akses. Tak mesti kaca-kaca ditandai bangunan. Kampung yang saya kisahkan dalam time frame pra dan pasca VOC
Hampir semua kampung ada fasitas Sumur Bor, sumur umum. Dan kalau malam ada Téng Loléng, penerangan, dan ronda yang istilah Betawi lamanya pen(Y)aringan, bukan Pen(J)aringan.
Semua ini direncanakan dan dijalankan dengan disiplin. Selain itu tiap kampung juga sediakan jondol, tempat rehat bagi kelana berupa bale-bale beratap. Tiap rumah harus sediakan air bersih di gentong dan diletak depan rumah untuk yang memerlukan.
Kampung dibangun tidak asal-asalan. Orang Belanda bilang planmatig .
Di zaman super modern begini kok pembangunan tanpa perencanaan? Ada kesan se-jadi-jadinya, dan aneh, kalau itu proyek mangkrak dianggap seperti hal yang wajar saja.
Rencana pembangunan proyek juga muncul karena dipidatoni, dipidatokan. Ah, bikin kereta cepat aah. Lalu seorang tokoh partai merenung kenapa pembangunan berjalan seperti tanpa perencanaan. Oh ya, 'kan kita sudah buang GBHN. Ah, balik ke GBHN lagi aah.
Di jaman Bung Karno hanya Istiqlal yang tak dapat diselesaikannya. Pembangunan proyek lain OK kok. Pak Harto jangan dikata. Ia memiliki disiplin perencanaan yang bagus. Tak ada pembangunan proyek yang mangkrak, pun tak ada juga pembangunan proyek yang sudah selesai, misalnya lapangan terbang, lalu dijadikan bengkel.
Ini menyangkut disiplin perencanaan dan indeks kecerdasan. Mau kata apa, coba! (Ridwan Saidi)
Artikel Terkait
Tebet: Tempat Betawi?
Kampung Daleman Dulu Hunian Elit Betawi